Sharing Ilmu

Pendidikan Pancasila

SILA KEMANUSIAAN PANCASILA DAN PRINSIP HAK-HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945

SILA KEMANUSIAAN PANCASILA DAN PRINSIP
HAK-HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945
SYAIFUL ARIF, SHI, MHUM
KELAS PENDIDIK PANCASILA LANJUTAN
SENIN, 5 FEBRUARI 2024
ASAL DAN PERKEMBANGAN SILA
KEMANUSIAAN PANCASILA
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah redaksi dari gagasan
Sukarno pada 1 Juni 1945 tentang sila Internasionalisme atau
Perikemanusiaan. Yakni prinsip hubungan internasional bangsa
Indonesia yang menunjung tinggi kemanusiaan dunia (tanpa
kolonialisme dan imperialisme). Bagi Sukarno, internasionalisme adalah
sifat dari nasionalisme Indonesia. “Nasionalisme tumbuh subur dalam
tamansari internasionalisme”. Hal ini Sukarno dasarkan pada prinsip
Mahatma Ghandi: Nasionalismeku adalah kemanusiaan (My nationality
is humanity). Dalam perkembangan di sidang kedua BPUPKI (10-17 Juli
1945), sila Internasionalisme atau Perikemanusiaan berwajah ganda:
keluar membangun hubungan antar-bangsa yang berperikemanusiaan,
ke dalam membangun negara yang melindungi dan memenuhi Hak-hak
Asasi Manusia (HAM) warga negara RI.


Ki Hadjar Dewantara: Irama Pancasila
“Untuk lengkapnya pandangan kita tentang memandang,
mempelajari atau menyelidiki sesuatu soal, baiklah di sini saya
tambahkan pula, bahwa sesudah ‘sifat’ serta ‘bentuk’ dan ‘isi’,
masih ada pula suatu faktor atau sebab yang dapat mengakibatkan
perbedaan antara dua hal atau keadaan, walaupun sifat serta bentuk
dan isinya pada dua-duanya ada sama. Perbedaan yang masih
nampak itu disebabkan, karena caranya melakukan, melaksanakan,
memakai atau menggerakkan, pendek caranya mewujudkan laku atau
tindakan masih ada bedanya antara yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu kesenian hal inilah yang disebut gerak ‘irama’ atau
‘rhytmus’ yang dapat menentukan ‘watak’ atau ‘karakter’ (yaitu sifat
utuhnya) tiap-tiap benda yang hidup dan bergerak”.
Ki Hadjar Dewantara, Pantjasila, (Yogyakarta: NV Usaha Penerbitan Indonesia, 1950), hlm. 8
Ki Hadjar Dewantara: Kemanusiaan, Pokok Sari Pancasila
Bagi orang lain boleh jadi menyetujui pokok dasarnya
sepenuhnya bahkan sampai bentuk dan isinya, namun
ingin menggunakan irama lain. Yaitu memakai urut-
urutan lain, karena mendasarkan pikiran serta
perasannya pada imbangan-imbangan yang lain. Bagi
saya sendiri misalnya, memandang ‘perikemanusiaan’
lah yang berdiri sebagai pokok sarinya Pancasila.
Dalam pandangan itu lalu secara ‘deduktif’ dapatlah
pokok, sari atau puncak Pancasila itu kita pecah menjadi
dasar-dasar lainnya. Atau apabila kita berpikir secara
‘induktif’, dasar ‘perikemanusiaan’ itu kita letakkan
paling belakang sebagai kesimpulan”.

Ki Hadjar Dewantara, Pantjasila, (Yogyakarta: NV Usaha Penerbitan Indonesia, 1950), hlm. 8
Irama Pancasila Ki Hadjar Dewantara
1. Ketuhanan, menurut adab
perikemanusiaan,
2. Kebangsaan, yang berdasar pada
perikemanusiaan,
3. Kedaulatan rakyat, yang
mengingati asas perikemanusiaan,
4. Keadilan sosial, sesuai tuntutan
adab perikemanusiaan,
5. Keluhuran hidup perikemanusiaan,
yakni pangkal-induknya.
Ki Hadjar Dewantara, Pantjasila, (Yogyakarta: NV Usaha Penerbitan Indonesia, 1950), hlm. 9
Ki Hadjar Dewantara: Batasan Kemanusiaan atas Kebangsaan
1. Jangan sampai hidup-kebangsaan itu
melanggar atau bertentangan dengan syarat-
syarat perikemanusiaan; insyafilah bahwa
kebangsaan itu bentuk khususnya
kemanusiaan,
2. Jangan sampai hidup-kebangsaan menindas
hidup-pribadi manusia; baik lahir maupun
batin; ingatlah pada sila-sila kedaulatan
rakyat dan keadilan sosial,
3. Hendaknya kita senantiasa bersendi
kesucian seperti terkandung dalam sila
ketuhanan.
Ki Hadjar Dewantara, Pantjasila, (Yogyakarta: NV Usaha Penerbitan Indonesia, 1950), hlm. 26
KEMANUSIAAN DALAM PEMBUKAAN UUD 1945
• Alinea pertama menegaskan komitmen bangsa Indonesia pada
kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak Merdeka bagi
segala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali.
• Alinea kedua menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan dan
hak menentukan nasib sendiri (self-determination).
• Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya
dalam berkat penciptaan Tuhan yang menghendaki kehidupan kebangsaan
yang bebas, dan dengan itu Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya
(declaration of independence).
• Alinea keempat mengandung dua hal penting. Pertama, membawa
kemanusiaan kepada tujuan negara dalam kerangka pemenuhan
kebahagiaan dan hak kolektif serta perseorangan, dalam kehidupan
nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu-isu
kemanusiaan pada dasar negara, khususnya sila kedua, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 181-182
INTERNASIONALISME DALAM UUD 1945
• Pasal 11 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian-perjanjian
dengan negara-negara lain.”
• Pasal 13 ayat (1) dan (2) menyatakan, (1) Presiden mengangkat duta-
duta dan konsul-konsul, (2) Presiden menerima duta-duta lain.
PERDEBATAN PENDIRI BANGSA
TTG HAM DALAM RANCANGAN UUD 1945
PANDANGAN MR. MUHAMMAD YAMIN
TTG KONSTITUSI DAN HAM
Pada rapat besar sidang kedua BPUPKI, 11 Juli 1945, Mr. Muhammad
Yamin menyatakan bahwa tiap konstitusi terbentuk dari tiga bagian;
paling akhir berisi pasal-pasal, bagian tengah berisi pernyataan
kemerdekaan dan dasar negara, dan bagian awal berisi hak manusia di
atas dunia sebagai bangsa yang hendak Merdeka. Yamin memberikan
contoh konstitusi Amerika Serikat yang menurutnya berisi; (1)
Declaration of Rights (1774), (2) Declaration of Independence (1776),
(3) Konstitusi (1787).
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 185


PANDANGAN MR. SOEPOMO
TTG HAM DALAM KONSTITUSI
Dalam rapat Panitia Hukum Dasar yang diketuai Sukarno pada tanggal
yang sama, Mr. Soepomo menolak pandangan Mr. Yamin. Ia menolak
Declaration of Rights yang berasal dari revolusi Perancis dan Amerika
Serikat yang berhaluan individualism. Sedangkan sebagai bangsa Timur,
Soepomo menyatakan haluan konstitusi Indonesia adalah
kekeluargaan, bukan individualisme. Ia menyatakan: “Oleh karena
menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat
ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan Declaration of
Rights.”
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 186


PANDANGAN SUKARNO TTG DEKLARASI HAM
Menanggapi hal itu, Sukarno mengajukan pandangan alternatif, apakah
tidak mungkin membuat Declaration of Rights dalam suasana
kekeluargaan? Merespons Sukarno, Soepomo menyatakan sepakat
dengan Declaration of Rights tetapi dalam konteks bangsa, bukan hak
individu. Akan tetapi ia tidak memahami bagaimana konsepnya.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 186


PANDANGAN AGUS SALIM MENGENAI HAM
Agus Salim berpandangan, tidak penting menganu ideologi
individualisme (liberalisme) atau kekeluargaan. Baginya, perlindungan
terhadap hak warga negara melalui mekanisme hukum tetap harus ada
dalam UUD. Artinya, dalam negara merdeka, seseorang hanya bisa
dibatasi haknya melalui pengadilan.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 186


PANDANGAN SUKARNO TTG HAM DALAM UUD (II)
Pada rapat besar 15 Juli 1945, Sukarno menegaskan bahwa dengan
diterimanya rancangan Pembukaan UUD, maka BPUPKI telah mufakat
bahwa dasar, falsafah dan sistem yang dipakai dalam penyusunan UUD
adalah dasar kekeluargaan (gotong-royong). Ia menyatakan, ketika
BPUPKI sepakat dengan prinsip “keadilan sosial” dalam Pembukaan,
maka hal itu adalah protes yang maha hebat terhadap dasar
individualisme. Oleh karena itu menurutnya, meskipun lazimnya dalam
UUD negara merdeka dimasukkan the rights of the citizens, namun
Indonesia memiliki pilihan lain.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 187


PANDANGAN MR. SOEPOMO TTG HAM DALAM UUD (II)
Menanggapi Sukarno, Mr. Soepomo menyatakan meskipun dalam
negara kekeluargaan tidak terhadap jaminan hak dasar individu, tidak
berarti rakyat tidak boleh berkumpul, berserikat dan bersuara. Ia lalu
menyatakan bahwa dalam rancangan UUD yang telah tersusun,
sebenarnya telah terdapat hak-hak asasi warga negara, yakni; hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak dan kewajiban bela negara,
hak mendapatkan pengajaran, dan hak beragama dan berkeyakinan.
Menurut Soepomo, dalam negara kekeluargaan bukannya tidak ada hak
individu, melainkan agar warga negara mengedepankan kewajiban
kepada negara daripada menuntut haknya.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 188


PANDANGAN MOHAMMAD HATTA
TTG HAM DALAM UUD
Menganggapi hal ini, Mohammad Hatta menyatakan tetap diperlukan
memuat pasal tentang hak warga negara untuk menyampaikan pikiran,
berkumpul dan berserikat. Keberadaan hak-hak itu untuk mencegah negara
kekeluargaan menjadi negara kekuasaan, dimana negara atas nama paham
kekeluargaan lalu melarang warga negara menyatakan pendapatnya kepada
negara. Hatta meminta para pendiri bangsa untuk mencegah terbentuknya
negara kekuasaan, karena negara yang diidealkan adalah “negara pengurus”.
Menurut Hatta, keberadaan hak-hak warga negara tersebut berasalan karena
selain menganut prinsip kekeluargaan, dasar negara Indonesia juga
menganut kedaulatan rakyat. Pandangan Hatta ini didukung oleh Soekiman
dan Mr. Yamin yang menyatakan bahwa HAM tidak harus dikaitkan dengan
liberalisme, tetapi sebuah kemestian perlindungan kemerdekaan yang harus
diakui dalam UUD.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 189-190


KEPUTUSAN DIMASUKKANNYA HAK SIPIL DALAM UUD
Pada 15 Juli 1945, Mr. Soepomo sebagai ketua Panitia Kecil Perancang
Hukum Dasar akhirnya sepakat memasukkan hak warga negara untuk
berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat dengan lisan dan
tulisan, yang menjadi pasal 28 UUD 1945.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 190-193
HAM DALAM UUD 1945
Hak Asasi Manusia (HAM) tersebar dalam pasal-
pasal UUD 1945 karya para pendiri bangsa,
terutama antara pasal 27-34
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 191
JENIS HAK HAK ASASI WARGA NEGARA PASAL UUD 1945
HAK SIPIL BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN PASAL 29
HAK SIPIL BERSERIKAT, BERKUMPUL DAN MENGELUARKAN
PIKIRAN MELALUI LISAN DAN TULISAN
PASAL 28
HAK SIPIL-POLITIK KESAMAAN KEDUDUKAN DALAM HUKUM DAN
PEMERINTAHAN
PASAL 27 AYAT (1)
HAK EKOSOB PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK PASAL 27 AYAT (2)
HAK EKOSOB MENDAPAT PENGAJARAN PASAL 31 AYAT (1)
HAK EKOSOB EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN FAKIR MISKIN PASAL 33 DAN 34
HAK SIPIL-POLITIK BELA NEGARA PASAL 30 AYAT (1)
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 191-192
HAK WARGA NEGARA DALAM UUD 1945:


MOHAMMAD HATTA
Sebagai pelaksanaan dari sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, menurut Bung Hatta, UUD 1945 lalu menetapkan
berbagai pasal perlindungan terhadap hak-hak warga
negara, sebagai berikut:
• Pasal 27: Persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, serta hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
• Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan
mengeluarkan pikiran dan tulisan;
• Pasal 29: Kemerdekaan (tiap-tiap penduduk) untuk
memeluk agamanya masing-masing;
• Pasal 30: Hak dan kewajiban ikut serta dalam usaha
pembelaan negara;
• Pasal 31: Hak mendapat pengajaran; dan
• Pasal 34: hak fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
untuk dipelihara oleh negara. (Hatta, 1977:32-34)
GENERASI PERTAMA: HAK SIPIL DAN HAK POLITIK
Generasi pertama HAM ini terkait dengan hak sipil, yang berhubungan
dengan orientasi etis kemanusiaan yang menjadi salah satu pilar hukum
internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan
beragama/berkeyakinan, hak diproses secara hukum dengan adil, hak
mengemukakan pendapat (freedom of speech) dan hak untuk ikut serta
dalam pengambilan keputusan bersama (voting rights). Generasi ini
disebut hak negatif (hak tidak boleh di..) dan hak dengan pendekatan
minimalis. Dalam UUD 1945, hak ini terdapat di pasal 27 ayat (1), pasal
28 dan pasal 28.
GENERASI KEDUA: HAK DEMOKRATIS
Generasi kedua HAM terkait dengan proses sebuah negara
membuahkan kebijakan dan kondisi yang memungkinkan suatu
kehidupan semakin manusiawi. Termasuk dalam hak ini adalah hak atas
layanan Kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas Pendidikan, hak atas
jaminan sosial. Generasi kedua ini masih terintegrasi dengan hak sipil
dan politik karena memadukan “hak negatif” dan “hak positif” (hak
untuk me…). Dalam UUD 1945 hak ini ada di pasal 27 ayat (2), pasal 31
dan pasal 34.
GENERASI KETIGA: HAK EKONOMI-SOSIAL-
KULTURAL-KOLEKTIF
Generasi ketiga HAM adalah pengakuan akan perlindungan
keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan
datang, baik satu komunitas maupun antar-komunitas. Generasi ketiga
ini adalah termasuk hak atas perlindungan lingkungan, hak Masyarakat
adat, hak ekonomi dan Pembangunan, hak penentuan Nasib sendiri,
dsb. Dalam UUD 1945, hak ini ada di pasal 30, 32, 33 dan 34.
Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: GPU, 2011), hlm. 191-192