Sharing Ilmu

PAIBP

Moderasi beragama

MODERASI BERAGAMA

Oleh : Marjuki, S.PdI.

 

Moderasi beragama berasal dari kata wasathiyah (الوسطية) dalam bahasa Arab, yang berarti tengah-tengah, adil, seimbang, atau tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Dalam konteks Islam, moderasi beragama berarti memahami, mengamalkan, dan mengekspresikan ajaran agama secara seimbang, tidak ekstrem ke kanan (ghuluw) maupun ke kiri (tafrith).  Moderasi Beragama. Materi ini menjelaskan bahwa moderasi bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama, melainkan cara pandang yang seimbang: tidak ekstrem ke kanan (fanatisme berlebihan) dan tidak ekstrem ke kiri (acuh tak acuh pada nilai agama). Moderasi menekankan sikap adil, toleran, dan berimbang, sebagaimana disebutkan dalam konsep ummatan wasathan (Q.S. Al- Baqarah: 143). Bagi guru PAI, nilai ini sangat relevan karena menjadi kunci dalam menjaga kerukunan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

     1. Analisis Implementasi

Implementasi moderasi beragama dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai strategi. Pertama, pemilihan materi yang menekankan nilai-nilai Islam wasathiyah, seperti ayat atau hadis tentang toleransi dan keadilan. Kedua, metode pembelajaran interaktif— diskusi, studi kasus, dan simulasi—agar siswa belajar langsung bagaimana menghadapi keberagaman. Ketiga, keteladanan guru menjadi faktor kunci; guru PAI harus menampilkan sikap inklusif dan menghargai perbedaan sehingga siswa memiliki model nyata.

     2.  Pengalaman Paktis

Dalam praktik mengajar di kelas, saya pernah menghadapi situasi ketika siswa berbeda pendapat mengenai praktik ibadah tertentu. Awalnya terjadi perdebatan yang cukup tegang. Namun, dengan pendekatan moderasi, saya mengajak mereka untuk memahami bahwa perbedaan mazhab adalah rahmat dan bagian dari kekayaan Islam. Pengalaman ini memperlihatkan bahwa penerapan nilai moderasi mampu meredakan konflik kecil di kelas dan mengajarkan siswa untuk lebih toleran.

      3. Tantangan dan Hikmah

Tantangan utama dalam penerapan moderasi beragama adalah adanya siswa yang sudah terbawa arus pemikiran eksklusif dari lingkungan luar sekolah, misalnya dari media sosial atau kelompok tertentu. Mengubah pola pikir semacam itu membutuhkan kesabaran dan pendekatan yang berkesinambungan. Hikmah yang saya dapatkan adalah bahwa pendidikan agama tidak cukup hanya sebatas transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. Sikap moderat dapat menjadi benteng bagi siswa agar tidak mudah terpengaruh oleh paham intoleran.